Daftar Isi [Tampil]

Moh. Nawawi Ishaq
Tinjauan Teoritis Empiris

Pengertian politik secara etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis. Polis berarti kota yang berstatus negara kota (city state). Pengertian politik yang berkembang di Yunani saat itu dapat ditafsirkan sebagai suatu proses interaksi antara individu dengan individu lainnya demi mencapai kebaikan bersama.

Dari pengalaman pribadi hingga beberapa kerabat dan teman-teman saling berbagi informasi tergambar menjelang momen-momen politik baik itu Pilpres, Legislatif dan Pemilukada disini timbul berbagai temuan dilapangan ceritanya ada yg ceria kedengarannya dan ada juga terkadang lucu untuk dilihat maupun didengar oknum tokoh dilebelkan sama masyarakat atau kelompoknya ketika disaat bersilaturrahmi ke tokoh politik. 

Dengan kedatangannya tentu style atau penampilan begitu sangat menyakinkan, namun terkadang banyak terjebak pada tataran argumentasi atau retorika nya dengan calon atau timses calon. Dengan tingkah dan sikapnya terkadang membawa pola dan sikap yg saya istilahkan Sikut Songkok (istilah Bahasa Sasak = Ukuran Songkok) dengan menyebutkan memiliki banyak pengikut atau jama'ah untuk menyakinkan seorang calon atau timses calon dengan statement janji manisnya. 

Posisi Sentral Tokoh Dalam Politik

Keterkenalan atau Popularitas tokoh baik itu tokoh Masyarakat, tokoh Agama tidak dapat dilepaskan dari dedikasi atau aktivitasnya ditengah-tengah masyarakat atau kelompok masyarakatnya karena posisi pengabdian yg dilakukan atas kemampuan dimiliki oleh tokoh tersebut. biasanya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dan peran yg diaktualisasikan. 

Efektivitas kepemimpinan seorang tokoh masyarakat maupun tokoh agama ditinjau dari teori kepemimpinan paling tidak memiliki 2 pendekatan yakni (1)  power-pengaruh dan (2) pendekatan sifat (trait theory). Yukl dalam Sonhaji (2003) mengungkapkan keefektipan kepemimpinan tokoh berdasarkan pendekatan yang pertama itu ditentukan oleh besarnya power yang dimiliki. Power seorang tokoh merupakan kekuatan yang diakui oleh pengikutnya menjadi suatu hal yang dapat mempengaruhi mereka. Power ini dapat berupa kedalaman ilmu sang tokoh tersebut baik dalam ilmu pengetahuan umum, agama serta otoritas yang dimiliki terhadap pengikutnya. 

Sedangkan pendekatan sifat sering disebut sebagai pendekatan karismatik yakni atribut-atribut personal yang dimiliki seorang tokoh misalnya sorotan mata, penampilan, ucapan, intonasi suara dan lain-lain nya. Kedua pendekatan ini seandainya terkombinasi secara baik akan menjadikan sang tokoh tersebut sosok berkarisma atau sering disebut pemimpin yang berkarismatik.

Karismatik Tokoh dan Politik Praktis 

Kepemimpinan seorang tokoh masyarakat, agama sudah umum dikenali masyarakat. Pengaruh tokoh tersebut yang kuat “dimanfaatkan” atau menjadi incaran para politisi untuk mendulang suara. Berbagai taktik dan strategi kampanye politik yang dijalankan partai politik biasanya tidak melupakan akan arti penting peran seorang tokoh tersebut sebagai “vote getter” terdepan dalam mengumpulkan suara pemilih. 

Apalagi semenjak diberlakukannya sistem Pemilu langsung dengan memperebutkan suara terbanyak atau proporsional terbuka memberikan peluang besar pada seorang tokoh yang memiliki tingkat popularitas dan elektabilitas tinggi ditengah masyarakat atau konsituennya. Tentu tidak dapat dihindari terjadi “pemanfaatan” kepemimpinan seorang tokoh oleh para politisi baik yang mengusung azas religius maupun nasionalis.

Perkembangan politik praktis di Indonesia membawa para tokoh-tokoh terjun langsung maupun tidak langsung dalam kancah perpolitikan di Tanah Air. Aspirasi politik para tokoh-tokoh tersebut dimanfaatkan partai politik di tingkat nasional maupun lokal dalam setiap Pemilu. Alhasil, para tokoh khususnya baik tokoh masyarakat, agama, adat dan gender maupun tokoh pemuda dihadapkan pada dunia politik praktis yang sarat dengan kepentingan. Tidak ada musuh abadi kecuali kepentingan abadi.

Karut marut pengelolaan kekuasaan karena sistem manajemen kekuasaan terlepas dari nilai-nilai, etika serta peradaban yang menghargai harkat dan martabat kemanusiaan. 

Penyimpangan yang terjadi dibanyak sektor kehidupan menandakan pemahaman warga bangsa pada nilai, etika dan peradaban masih sebatas jargon verbal belaka, Belum terwujud nyata atau terinternalisasi merata sampai pada tataran perilaku sehari-hari. Para elite/politisi masih sebatas memanfaatkan rakyat sebagai pijakan, untuk berkuasa. Mereka (rakyat) dijadikan sebagai alat dan bukan tujuan politik. 

Dalam jeratan kemiskinan dan ketidak berdayaan sosial, rakyat cenderung memperlakukan dirinya sendiri floating mass yang dapat digerakkan oleh kekuatan uang dan kekuasaan. Semua fenomena ini membuat tingkat kepercayaaan rakyat terhadap elite pemimpin menjadi rendah. 

Akibatnya berbagai aksi massa secara brutal dan beringas yang marak kita saksikan menjadi cermin tidak berwibawanya aparat penegak hukum dimata mereka. Lebih tragis lagi aparatur sering terlihat bertindak diluar kendali, tak ubahnya dengan para pelaku anarkis itu. Alhasil, kekerasan jalanan yang merebak di Tanah Air menjadi pemandangan biasa yang di 'legalkan’ hingga mendegradasikan nilai-nilai demokrasi.

Posisi Tokoh Diharapkan

Sejatinya efektivitas pembumian nilai-nilai, etika dan peradaban yang menghargai martabat manusia disosialisasikan melalui contoh nyata elite pemimpin. Akibat semua itu, kekhawatiran yang muncul adalah memudarnya kesakralan atau karismatik para tokoh terutama mereka yang berpolitik praktis.

Dalam kondisi Negara centang perenang, penegakan hukum masih karut marut dan situasi perpolitikan yang masih kacau balau, kental dengan ketidak menentu, sebaiknya para tokoh masyarakat, agama, adat, gender dan pemuda jangan terlibat jauh atau larut dalam politik praktis (low politics). Justeru kepemimpinan dan power politik yang dimiliki diharapkan berupaya mencerahkan masyarakat luas melalui fatwa-fatwa atau nasehat yang dibutuhkan masyarakat atau kelompoknya. Tokoh masyarakat, agama mesti berada di segala golongan karena keberadaannya merupakan lambang moralitas dan akhlak mulia. Melalui moral force keterpurukan bangsa dapat dicegah tidak malah tambah rusak.

Penulis : Moh. Nawawi Ishaq, S.Sos. (Koordinator Divisi Penelitian dan Advokasi Civil Society Pimpus HIMMAH NW)