Daftar Isi [Tampil]

Abdul Muhid, SH., MH. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lotim, saat ini sebagai Wakil Ketua pada Fraksi Persatuan Rakyat.
LOMBOK TIMUR Radarselaparang.com || Rancangan Penataan Daerah Pemilihan (Dapil) yang dicanangkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lombok Timur (Lotim) dengan Pengumuman Nomor 07/PP. 04. 1 - Pu/5203/2022 tetang Rancangan Penataan Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi Anggita Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lombok Timur pada Pemilihan Umum tahun 2024, tertanggal 23 November 2022, itu tuai kontra. Dimana ada yang setuju dan tidak setuju sesuai dengan persefektif yang berbeda.

Hal kontra dengan tidak setuju terhadap rancangan penataan dapil tersebut datang dari Abdul Muhid, SH., MH. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lotim, saat ini sebagai Wakil Ketua pada Fraksi Persatuan Rakyat.

Muhid, menguraikan alasan penolakan tersebut dengan memaparkan alasan penolakannya dari dua asfek yakni asfek hukum dan aspek demokrasi.

Dari aspek hukum, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), jika keputusan MK itu tidak memerintahkan wajib untuk dijalankan, maka KPU tidak mesti terburu - buru menjalankan perubahan dengan penataan dapil tersebut, Jika tidak ada perintah wajib disana dalam konstitusi itu.

"Saya berangkat dari akademisi, Maka saya mengkaji secara objektif saja," ujar Muhid yang juga dosen Fakultas Hukum UGR tersebut.

Dari aspek refresentatif Demokrasi, dimana perubahan dapil itu akan menghilangkan igo dari orang-orang yang telah lama menjalankan silaturrahmi maupun intraksi dengan masyarakat atau konstituennya.

"Karena kita berbicara demokrasi berarti kita bicara intraksi, sosialisasi, dan kinerja,"terang Muhid, Anggota DPRD Lotim tersebut saat diwawancarai media ini diruang kerjanya, Senin, (28/11/2022).

Diakui pula oleh Muhid, Politisi partai Keadilan dan Persatuan (PKP) itu, bahwa setiap ada perubahan akan menimbulkan sisi positif - negatifnya, namun disini ditekankan, jika KPU ingin menata ulang dapil, seharusnya itu dilakuan setahun sejak dilantiknya DPRD bukan setelah masuknya tahapan Pemilu.

"Jika ada rencana perubahan dengan penataan dapil itu seharusnya dilakukan jauh hari sebelumnya atau lebih tepatnya setahun sejak dilantiknya anggota DPRD, bukan dilakukan rencana itu sekarang, pada saat sudah masuk tahapan pemilu, yang terkesan KPU terburu - buru," lanjut Muhid.

Ditegaskan Muhid, Jangan sampai dengan perubahan dapil ini terkesan mengkotak - kotakkan masyarakat secara politik dan secara khusus, Perlu diingat bahwa setiap Anggota DPRD setelah terpilih itu bukan milik dari dapil saja, tetapi milik dari semua masyarakat Lombok Timur.

"Jangan melihat dari aspek jumah angka pemilihnya saja yang memenuhi terbentuknya sebuah dapil, tetapi harus dilihat dalam artian luas juga, inilah yang dimaksud dengan pengkotak - kotakan masyarakat," tegasnya.

Yang jadi persoalan sekarang adalah dikhawatirkan itu, dimungkinkan-kah pada saat pendaftaran calegnya nanti terpenuhi oleh partai kalau dapailnya hanya dua kecamatan seperti rancangan 3, dapil 4 yakni Keruak dan Jerowaru.

"Kalau kurang pendaftar caleg dari penataan dapil ini, maka itu tidak demokratis, artinya partisifasi masyarakat untuk menjadi caleg itu sangat terbatas atau bisa saja tidak ada, dari aspek demokrasi itu tidak boleh," terangnya.

Dicontohkan oleh Muhid dari rancangan 3 dapil 4, diambil dari Keruak dan Jerowaru dengan peserta partai politik umpamanya sebanyak 20 parpol, siap tidak masyarakat di dua kecamatan itu akan memenuhi semua pencalegkannya di semua parpol tersebut.

" Itu yang saya maksud dengan pengkotak kotakan masyarakat secara politik, dan Keterlibatan masyarakat dalam pencalegkan dalam suatu parpol paling akan terisi 1 sampai 2 dan paling banyak 5 orang, padahal disyaratkan disana kursinya sebanyak 4, masak calegnya hanya 4 orang," Muhid mencontohkan.

Lebih jauh dicontohkan umpama 20 parpol dengan minimal 4 orang caleg per parpol, berarti sebanyak 80 orang yang akan nyaleg di dua kecamatan itu (Keruak - Jerowaru red).

"Bisa tidak porpol memenuhi itu di dua kecamatan tadi, biasa saja banyak parpol yang tidak ada calegnya di dapil tersebut, inilah dinamakan kurangnya partisifasi masyarakat karena adanya pengekangan demokrasi dengan penyempitan dapil tersebut," jelas Muhid.

Jadi dengan melihat dari aspek hukum, dimana sifatnya bukan absolut (tetap/wajib red) tapi bersifat fakultatif disana tidak diisyaratkan harus dijalankan perubahan  dengan penataan terhadap dapil itu.

"Dan dari segi asfek demokrasinya, saya tegas mengatakan tidak setuju terhadap rancangan penataan dapil tersebut, karena dikhawatirkan banyak partai yang tidak ada calegnya dengan penyempitan dapil," tutupnya. (RS)