Daftar Isi [Tampil]

Kuasa hukum Haji Masrah Alias Amaq Nas
dari Fathul Khairul Anam, S.H., M.
LOMBOK TENGAH - Radarselaparang.com ||  Gelombang perlawanan hukum menerpa Kepolisian Resort (Polres) Lombok Tengah. Haji Masrah Alias Amaq Nas, yang ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana pemalsuan sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHP oleh Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Lombok Tengah, mengajukan permohonan praperadilan yang kini menjadi perhatian publik.

Melalui kuasa hukumnya dari Fathul Khairul Anam, S.H., M.H & Partners, permohonan praperadilan tersebut telah terdaftar di Pengadilan Negeri Praya. Langkah ini diambil Haji Masrah untuk menguji keabsahan penetapannya sebagai tersangka oleh pihak kepolisian.

Dalam berkas permohonan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Praya, tim kuasa hukum Pemohon mengungkapkan serangkaian kejanggalan dan ketidaksesuaian dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Polres Lombok Tengah.

Fathul Khairul Anam, S.H., M.H., salah satu anggota tim kuasa hukum Haji Masrah, menegaskan bahwa penetapan tersangka terhadap kliennya diduga kuat menyimpang dari prosedur hukum yang berlaku.

"Kami menemukan sejumlah fakta yang mengindikasikan adanya ketidakjelasan dan cacat formil dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Termohon (Kapolri Cq. Kapolda NTB Cq. Kapolres Lombok Tengah)," ungkap Fathul Khairul Anam dalam berkas permohonannya yang diajukan pada Jumat (22/3) lalu.

Salah satu poin krusial yang disoroti adalah ketidakjelasan dasar Surat Perintah Penyidikan (Sprindik). Tim kuasa hukum menemukan perbedaan mencolok pada nomor dan bulan penerbitan Sprindik dalam dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Termohon.

Surat Panggilan Tersangka pertama tertanggal 13 Januari 2025 mencantumkan nomor Sprindik SP. Sidik/15.a/III/RES.1.9/2025/Reskrim. Namun, pada Surat Ketetapan Tersangka dengan tanggal yang sama, nomor Sprindik yang tertera justru SP.Sidik/15.a/I/RES.1.9/2025/Reskrim.

"Ketidakjelasan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai dasar hukum yang sebenarnya digunakan penyidik dalam menetapkan Haji Masrah sebagai tersangka. Kami meragukan keabsahan penyidikan yang menjadi landasan penetapan tersangka ini," tegas Ahmad Mujaddid Islam, S.H., anggota tim kuasa hukum lainnya pada Rabu (16/4).

Selain itu, ketidakjelasan juga ditemukan pada dasar Laporan Polisi yang dijadikan pijakan penyidikan. Pihak kuasa hukum mempertanyakan apakah penyidikan ini didasarkan pada laporan pengaduan dari saudara Makmun pada tanggal 11 November 2023 atau Laporan Polisi Nomor: LP/ B/ 348/ XII/ 2024/ SPKT/ Polres Lombok Tengah/ Polda Nusa Tenggara Barat tertanggal 30 Desember 2024, mengingat kedua nomor laporan tersebut tercantum dalam surat panggilan tersangka dan ketetapan tersangka.

Poin penting lainnya yang diungkapkan adalah dugaan penyitaan barang bukti berupa surat keterangan jual beli tertanggal 14 Juli 1980 milik Pemohon yang dinilai tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Kuasa hukum Pemohon menyatakan bahwa Termohon tidak pernah menerbitkan surat perintah penyitaan maupun membuat berita acara penyitaan atas barang bukti tersebut.

"Menurut hukum acara pidana, penyitaan harus dilakukan berdasarkan surat perintah dan dibuatkan berita acara. Fakta bahwa klien kami menyerahkan surat tersebut atas permintaan penyidik tidak secara otomatis melegalkan tindakan penyitaan yang tidak sesuai prosedur," jelas Fathul Khairul Anam.

Lebih lanjut, tim kuasa hukum Haji Masrah meragukan terpenuhinya dua alat bukti yang sah sebagai dasar penetapan tersangka. Mereka berpendapat bahwa penetapan tersangka hanya didasarkan pada keterangan pelapor, satu keterangan ahli hukum, dan satu dokumen, tanpa adanya saksi fakta yang mendukung dan tanpa didahului uji forensik terhadap dokumen dan tanda tangan dalam surat yang dipermasalahkan.

"Jika yang dipermasalahkan adalah keaslian tanda tangan, seharusnya penyidik melakukan uji forensik. Tanpa adanya uji forensik, bagaimana mungkin Termohon dapat menyimpulkan bahwa surat tersebut palsu? Klien kami merasa penetapan tersangka ini dipaksakan tanpa adanya bukti yang kuat dan valid," imbuh Ahmad Mujaddid Islam.

Dalam petitum permohonannya, tim kuasa hukum Haji Masrah meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Praya untuk menyatakan bahwa Surat Perintah Penyidikan dan penetapan tersangka atas nama Haji Masrah Alias Amaq Nas adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mereka juga menuntut pemulihan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya, serta menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara.

Upaya praperadilan ini, ditegaskan oleh Fathul Khairul Anam, semata-mata bertujuan untuk mencari kebenaran hukum dan menjadi bentuk pengawasan horizontal terhadap tindakan aparat penegak hukum agar senantiasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Kami berharap Yang Mulia Hakim dapat menegakkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi klien kami. Forum praperadilan ini adalah mekanisme yang transparan dan akuntabel untuk menguji keabsahan tindakan penyidik," pungkasnya.

Sidang praperadilan ini diharapkan akan menjadi babak penting dalam penanganan kasus dugaan pemalsuan ini, menyoroti urgensi penegakan hukum yang sesuai dengan prosedur dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Publik menantikan putusan Pengadilan Negeri Praya yang diharapkan dapat memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. (RS)


Ikuti kami di berita google