Daftar Isi [Tampil]

Dr. Karomi, Akademisi dan pemerhati budaya Lombok Timur
LOMBOK TIMUR - Radarselaparang.com || Gelombang kritik pedas menerjang Bidang Kebudayaan Kabupaten Lombok Timur. Akademisi dan pemerhati budaya terkemuka, Dr. Karomi, tanpa ragu melabeli kinerja bidang tersebut mandek nyaris tanpa aktivitas signifikan dalam melestarikan warisan budaya lokal. Bahkan, ia menyebutnya sebagai "bidang tanpa kerjaan," menyiratkan kekhawatiran mendalam akan masa depan identitas budaya Sasak.

Menurut Dr. Karomi, Bidang Kebudayaan seharusnya menjadi benteng utama dalam menjaga nilai-nilai luhur daerah. Namun, kenyataannya di Lombok Timur justru jauh panggang dari api. Keberadaan bidang ini dinilai tidak terasa dampaknya, baik melalui program-program nyata maupun arah kebijakan yang jelas.

"Kita di Lombok Timur tidak memiliki standar budaya yang jelas," ungkap Dr. Karomi dengan nada prihatin pada Jumat (9/5).

Ia mencontohkan bagaimana pakaian adat masyarakat Sasak saat ini telah jauh menyimpang dari makna filosofis dan nilai-nilai otentik yang diwariskan leluhur. "Sementara di daerah lain, model pakaian adat justru menjadi simbol identitas yang diperkuat," imbuh Dr Karomi, menyoroti ketidakmauan atau ketidakmampuan daerah untuk mempertahankan ciri khasnya.

Senada dengan kritik tajam tersebut, pemerhati budaya yang aktif dalam pelestarian budaya lokal, Muhir, menyatakan dukungannya penuh. "Apa yang disampaikan oleh Dr. Karomi, menurut saya benar," tegas Muhir.

Ia melihat bahwa permasalahan ini berakar dari berbagai faktor, dengan penekanan pada "ketidakpahaman pimpinan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, yang notabene adalah pembantu Bupati dalam urusan pendidikan dan kebudayaan."ungkap Muhir.

Lebih lanjut, Muhir menyoroti adanya persoalan mendasar pada level pengambilan keputusan tertinggi. "Pada akhirnya, saya berpendapat bahwa puncak kesalahan itu adalah Bupati sebagai policy maker. Kesalahan fatal adalah salah menempatkan individu sebagai kepala dinas," ujarnya dengan lugas. Pernyataan ini mengindikasikan adanya ketidakpercayaan terhadap kemampuan pemimpin dinas terkait dalam mengelola dan mengembangkan sektor kebudayaan.

Kedua tokoh ini sepakat bahwa tanpa adanya arah dan strategi yang terstruktur, Lombok Timur berada dalam ancaman nyata kehilangan jati diri budaya yang merupakan warisan tak ternilai dari para pendahulu. Mereka mendesak pemerintah daerah untuk segera mengambil langkah konkret, dimulai dengan kajian mendalam terhadap seluruh elemen budaya lokal.

Selain itu, penataan ulang struktur kelembagaan yang bertanggung jawab atas urusan kebudayaan dianggap krusial untuk memastikan pelestarian budaya dapat berjalan efektif dan terarah.

Kritik pedas ini menjadi sinyal darurat bagi masa depan kebudayaan Lombok Timur. Jika tidak ada tindakan nyata dan perubahan mendasar, bukan tidak mungkin kekayaan budaya yang menjadi kebanggaan daerah ini akan semakin tergerus zaman dan akhirnya benar-benar "hilang arah". (RS)