Daftar Isi [Tampil]

Oleh : Muh. Alwi Parhanudin (Dept. Orkad PBNW, Dosen Filsafat Politik UIN Mataram)

OPINI - Jean Baudrillard, dalam renungannya tentang dunia hiperrealitas, pernah menyampaikan kegelisahan tentang bagaimana simbol-simbol dapat melampaui kenyataan itu sendiri. Ketika citra menjadi lebih penting daripada isi, ketika representasi menjadi pengganti realitas, maka yang muncul bukan lagi kehidupan, melainkan _simulacrum_—realitas semu yang mengklaim kebenaran, tetapi kehilangan fondasi. Himmah NW, sebagai gerakan mahasiswa yang telah melintasi usia 59 tahun, patut mawas diri agar tidak tergelincir ke dalam jebakan ini.

Peringatan hari lahir, seminar-seminar penuh pamflet digital, orasi-orasi bertema perlawanan, bisa saja menjadi ritual tahunan yang megah namun hampa, jika tidak disertai kerja ideologis yang mendalam dan berkelanjutan. Perjuangan bukan sekadar estetika simbolik yang dipamerkan ke publik, tetapi laborium pemikiran dan tindakan yang terus menyala bahkan ketika tidak ada panggung. Organisasi mahasiswa tidak boleh berhenti sebagai penghasil slogan, melainkan harus menjadi kawah candradimuka yang membentuk kesadaran kritis dan komitmen transformasional. Jika tidak demikian, Himmah NW hanya akan menjadi panggung teatrikal yang menampilkan perjuangan sebagai sandiwara sosial. Meminjam analogi Erich Fromm, jadilah komunitas humanis yang hidup dengan bertindak dari kesadaran dan kapasitas internal, bukan semata-mata menjadi penikmat atau penampil simbol-simbol kosong.

Namun demikian, Himmah NW tetap menjadi salah satu ruang publik paling otentik dalam lanskap organisasi Nahdlatul Wathan. Meminjam istilah Habermas, Himmah NW adalah _public sphere_—ruang diskursif di mana para kader dapat berlatih berbicara sebagai warga intelektual, bukan sekadar obyek kekuasaan. Di ruang ini, kesetaraan bukan slogan, melainkan praksis: yang muda boleh bicara, yang kritis tidak dibungkam, dan yang berbeda tidak otomatis disingkirkan.

Himmah NW bukan ruang eksklusif milik satu tafsir atau satu idiom. Ia adalah rumah ide yang menampung dinamika pemikiran, dari mereka yang teguh pada teks hingga mereka yang gemar membongkar struktur wacana. Dalam tradisi ini, gagasan tentang keadilan sosial, kesetaraan, bahkan kebebasan berpikir, bukanlah sesuatu yang harus disingkirkan, tetapi justru harus diuji secara intelektual. Himmah NW, sejauh ini, masih menjadi benteng terakhir dalam tubuh NW yang memungkinkan liberalitas berpikir bertemu dengan loyalitas ideologis tanpa saling meniadakan.

Sementara itu, anggapan bahwa Himmah NW adalah organisasi doktriner bukanlah sesuatu yang harus ditolak secara reaksioner. Setiap organisasi tentu memiliki prinsip dasar yang mengikat anggotanya. Tetapi menjadi doktriner tidak identik dengan menjadi hegemonik —suatu komunitas dengan "kesadaran buatan" sebagaimana digambarkan Marx dan Gramsci. Himmah NW memiliki basis nilai yang kokoh, tetapi tidak (dan tidak boleh) menjadi ruang tirani kebenaran tunggal. Organisasi ini harus tetap membuka ruang kontestasi pemikiran di dalam doktrin, dan menjunjung akal sehat sebagai instrumen bermartabat dalam memahami kebenaran.

Nietzsche suatu ketika menulis, "_Convictions are more dangerous enemies of truth than lies_", Maka keyakinan pun harus disertai keterbukaan. Dogma pun harus disertai perenungan. Himmah NW harus mampu menjadi organisasi yang membentuk loyalis berpikir, bukan sekadar pengikut yang setia namun pasif.

Di usia yang ke-59 ini, Himmah NW tidak hanya ditantang untuk mempertahankan eksistensinya, tetapi juga memikul tanggung jawab sejarah. Tugas-tugas mengawal transformasi, menjaga kebebasan berpikir dan mengupayakan moderatisme bukanlah kemewahan retoris; ia adalah perjuangan berat dan sunyi yang kerap dibayar mahal. Saya sendiri sering dianggap “antek tradisi bermuka liberal”, atau “moderat di muka nyongklok di belakang”, sebab sebagian kader tidak memahami betapa beratnya mengupayakan Himmah NW ini menjadi oase nalar di tengah padang pasir seremonial, menjadi ruang egaliter di tengah hirarki yang kian mapan, dan menjadi penjaga ideologis tanpa berubah menjadi penjara pemikiran. Namun demikian, yakinlah bahwa perjuangan belum sepenuhnya hilang, dan Himmah NW belum menjadi artefak dari masa lalu yang membatu.

Kita tentu tidak mendambakan Himmah NW menjadi bangunan tua yang hanya dikenang dalam pidato-pidato peringatan. Kita ingin ia tetap hidup sebagai gerakan: lentur, cerdas, dan tajam. Bukan karena ia mengabdi pada masa lalu, tetapi karena ia terus menyala menuju masa depan. Wallahu a’lam.