Daftar Isi [Tampil]

Dr.Karomi, Pengamat Politik dan Dosen Universitas Gunung Rinjani (UGR)
LOMBOK TIMUR - Radarselaparang.com ||  Polemik pengusiran perahu nelayan asal Lombok Tengah oleh Bupati Lombok Timur di kawasan Teluk Ekas kembali mencuat dan menuai sorotan publik. Isu ini mencuat setelah nelayan yang beroperasi di sekitar kawasan surfing yang dikelola pelaku wisata merasa terusir, memicu reaksi beragam di masyarakat.

Menurut pengamat politik dan dosen Universitas Gunung Rinjani (UGR), Dr. Karomi, kasus ini secara politis memberikan keuntungan elektoral bagi H. Iron (Panggilan Bupati Lombok Timur-red). Ia dinilai berhasil membangun citra sebagai tokoh lokal yang tegas dan berani mengambil tindakan atas nama perlindungan wilayah dan kepentingan ekonomi masyarakat sekitar.

“Isu ini, tanpa disadari, justru mengangkat popularitas H. Iron, terutama di kalangan masyarakat pesisir yang selama ini merasa tidak banyak diperhatikan oleh pemerintah daerah,” ujar Dr. Karomi, pada Jumat (20/06).

Namun, ia mengingatkan bahwa di balik meningkatnya popularitas tokoh tertentu, terdapat catatan serius yang harus diperhatikan pemerintah daerah. Kasus ini menurutnya menjadi titik balik yang penting bagi tim Pemerintah Daerah, khususnya dalam hal pengkajian batas kewenangan dan yurisdiksi wilayah pesisir antara kabupaten/kota yang berbatasan langsung.

“Teluk Ekas berada dalam wilayah yang rawan tumpang tindih kepentingan, baik dari sisi administrasi pemerintahan, sektor wisata, maupun aktivitas nelayan. Karena itu, langkah sepihak justru berisiko memicu konflik horizontal,” jelasnya.

Dr. Karomi juga mendorong pemerintah daerah agar tidak semata-mata bertindak reaktif, tetapi lebih mengedepankan pendekatan persuasif dan edukatif. Ia menilai bahwa konflik ini bisa menjadi momentum memperbaiki komunikasi lintas wilayah, serta membangun kesepahaman bersama antara pelaku wisata, masyarakat adat, dan kelompok nelayan dari berbagai daerah.

“Pemerintah harus hadir sebagai fasilitator, bukan hanya regulator. Dialog, edukasi hukum, serta mediasi antarpihak menjadi kunci agar masalah serupa tidak terus berulang,” tambahnya.

Selain itu, pendekatan kearifan lokal juga dinilai relevan untuk meredam potensi gesekan sosial. Dalam konteks Lombok yang punya tradisi dialog dan penyelesaian sengketa berbasis adat seperti begundem atau selisan.

"Ini harus dihidupkan kembali sebagai instrumen sosial-politik dalam menyelesaikan masalah-masalah berbasis komunitas," pungkas Dr. Karomi.

Isu pengusiran nelayan ini membuka mata bahwa persoalan di wilayah pesisir bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga menyangkut kedaulatan ruang, keadilan akses, dan sensitivitas sosial.

Pemerintah daerah diharapkan tidak hanya bertindak setelah konflik mencuat, tetapi aktif melakukan pencegahan dan penguatan kelembagaan masyarakat lokal di kawasan pesisir. (RS)