Daftar Isi [Tampil]

Teguh Satya Bhakti, Pemerhati Lingkungan dan Praktisi Hukum
MATARAM - Radarselaparang.com || Bencana alam dan kehancuran lingkungan di Indonesia, termasuk di Bali dan Lombok, telah mencapai titik kritis. Banjir parah yang melanda daerah wisata internasional dan sejumlah titik di Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi alarm bahwa krisis ekologis telah memasuki "zona merah".

Pemerhati Lingkungan dan Praktisi Hukum, Teguh Satya Bhakti, menyoroti bahwa akar masalahnya adalah penggundulan hutan akibat pembalakan liar dan konversi lahan menjadi permukiman, yang mengakibatkan daya serap tanah merosot drastis.

Dalam pernyataan resminya pada Rabu (1/10), Teguh menegaskan bahwa di tengah ancaman ini, masyarakat Lombok, khususnya Suku Sasak, memiliki formula ampuh yang terpendam: Hukum Adat atau Awik-Awik.

Teguh Satya Bhakti berpendapat bahwa kompleksitas masalah lingkungan memerlukan pendekatan komprehensif, tidak hanya legal formal tetapi juga kultural. Ia menjelaskan, masyarakat Sasak memiliki pandangan ekosentrisme, memandang alam bukan sekadar sumber daya ekonomi atau objek wisata, tetapi juga memiliki dimensi spiritual.

Pandangan ini diatur dalam kerangka hukum adat yang dikenal sebagai Awik-Awik. Diterangkan Teguh, Awik-Awik adalah ketentuan adat yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam, seperti Larangan menebang pohon di kawasan hutan lindung, Kewajiban menanam pohon pengganti jika ada penebangan, dan Penerapan denda adat bagi pelanggar, yang seringkali dibayar dengan hasil bumi.

"Hukum adat berperan sebagai instrumen pencegahan kerusakan lingkungan, jauh sebelum negara hadir lewat regulasi formal," ujar Teguh. Ia mencontohkan Desa Bayan di Lombok Utara sebagai salah satu desa yang konsisten menerapkan tradisi ini dalam pengelolaan hutan.

Sayangnya, Teguh menyayangkan bahwa hukum adat sering kali dianggap hanya sebagai 'pelengkap' oleh negara. Banyak kebijakan, seperti pemberian izin tambang ilegal di sekitar Gunung Rinjani yang merusak hutan adat, dilakukan tanpa konsultasi yang memadai.

"Ironisnya, penegakan hukum tampaknya tidak tegas karena bisa jadi melekat erat aneka kepentingan politik dan bisnis," tambahnya.

Tantangan lainnya datang dari gelombang modernisasi dan kapitalisme-predator, yang membuat generasi muda kurang menyadari esensi hukum adat.

Untuk menekan bencana banjir dan kerusakan lingkungan, Teguh mendesak segenap pemangku kepentingan untuk mengedepankan hukum adat dan Awik-Awik sebagai mekanisme pencegahan alami.

Ia mendorong penguatan peran hukum adat Sasak dalam menjaga hutan berbasis tradisi Awik-Awik sebagai bagian dari hukum nasional melalui Peraturan Daerah (Perda).

Karenanya, Gubernur NTB (Lalu Muhammad Iqbal_red) untuk mengarusutamakan pembentukan Perda tentang Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan yang memberikan sanksi tegas, khususnya terhadap operator tambang ilegal.

"Dan penggabungan kekuatan pemerintah, LSM, akademisi, dan komunitas lokal dalam program pelestarian hutan dengan mengintegrasikan kearifan lokal," saran Teguh.

Teguh menutup pernyataannya dengan optimisme bahwa kearifan lokal yang telah teruji ratusan tahun merupakan jawaban sejati, jauh lebih efektif daripada solusi modern yang supermahal.

"Jika nilai-nilai adat diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional, Indonesia berpotensi menjadi acuan bagi dunia bagaimana tradisi lokal menjadi metode kultural guna merawat alam," pungkasnya. (RS)