Daftar Isi [Tampil]


oleh: MATSUN 

[Mahasiswa program Doktor Pendidikan IPA Universitas Sebelas Maret Surakarta]

Dosen Pengampu: Prof. Drs. H. Sentot Budi Raharjo, Ph.D

Cabang ilmu komputer yang berfokus pada pembuatan sistem atau mesin yang dapat meniru kemampuan manusia dalam berpikir, belajar, dan memecahkan maslah istilah ini kita kenal dengan Artificial Intelligence (AI). Kecerdasan buatan atau AI kini hadir di hampir semua aspek kehidupan manusia dari bangun tidur hingga tidur lagi kita memanfaatkan AI, AI membantu manusia bekerja lebih cepat dan efisien. Namun, di balik kemajuan itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah manusia masih berpikir secara kritis di era mesin yang berpikir untuknya?

Pertanyaan ini membawa kita kembali kepada filsafat ilmu sebuah bidang yang mungkin tampak teoritis, tetapi justru menjadi pondasi utama kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Menemukan Makna Ilmu di Tengah Artificial Intelligence

Filsafat ilmu berbicara tentang bagaimana manusia mengetahui sesuatu dan apa yang membuat pengetahuan itu sahih. Karl Popper menyebut bahwa ilmu berkembang karena manusia berani menguji kesalahannya sendiri (falsifikasi), sementara Thomas Kuhn menunjukkan bahwa ilmu berubah melalui revolusi paradigma.

Dua pemikir ini mengingatkan bahwa ilmu tidak berhenti pada data, melainkan berakar pada keberanian untuk mempertanyakan kebenaran. Namun kini, algoritma sering mengambil alih proses berpikir itu. Mesin bisa menulis, menganalisis, bahkan “menebak” keinginan manusia. Tapi, ia tetap tidak memahami makna. AI bisa meniru gaya, tapi tidak bisa menalar nilai. Karena itu, manusia harus tetap menjadi subjek pengetahuan, bukan sekadar konsumen data.

Berpikir Kritis, Bukan Sekadar Cepat

Teknologi mempercepat segalanya, termasuk cara berpikir. Namun, kecepatan tidak selalu berarti kedalaman. Filsafat ilmu mengajarkan pentingnya proses refleksi bertanya, menimbang, dan menguji dasar pengetahuan. Dalam konteks pendidikan, berpikir kritis bukan hanya soal menjawab benar, tapi juga memahami mengapa jawabannya itu dikatakan benar. Di tengah derasnya arus informasi, kemampuan berpikir kritis menjadi benteng terakhir agar manusia tidak hanyut dalam opini dan algoritma.

Artificial Intelligence Sebagai Cermin, Bukan Pengganti

Artificial Intelligence seharusnya tidak dianggap ancaman, melainkan cermin yang memantulkan kembali siapa manusia sebenarnya. Ketika mesin mampu menulis dan berpikir, pertanyaannya bukan lagi apa yang bisa dilakukan manusia, melainkan apa yang membedakan manusia dari mesin. Jawabannya terletak pada kesadaran, moral, dan tanggung jawab.

Ilmu tanpa etika hanyalah kekuasaan tanpa arah. Karena itu, kemajuan AI perlu disertai kesadaran filosofis agar tetap berpihak pada nilai kemanusiaan.

Meneguhkan Peran Manusia

Filsafat ilmu mengingatkan bahwa manusia tidak boleh menyerahkan seluruh keputusan kepada teknologi. Nilai, makna, dan kebijaksanaan tidak bisa diprogramkan.

Manusia tidak perlu menyaingi AI, melainkan memastikan bahwa teknologi bekerja untuk kebaikan, bukan kebalikannya. “Teknologi tanpa filsafat adalah kekuatan tanpa kebijaksanaan”. Filsafat ilmu bukan teori tua di ruang kuliah, melainkan pilar berpikir kritis yang menjaga agar kemajuan tidak kehilangan arah. Di era AI, tugas terbesar manusia adalah memastikan bahwa kecerdasan buatan tidak menggantikan kebijaksanaan manusia.

Referensi 

1. Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (Routledge, 2002)

2. Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (University of Chicago Press, 2012)

3. Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford University Press, 2014)

4. Stanford Encyclopedia of Philosophy – “Philosophy of Science” (https://plato.stanford.edu)