Daftar Isi [Tampil]

Oleh: Ardi Widhia Sabekti, Putri Agustina, Muhammad Shohibul Ihsan, Sajidan Program Studi Doktor Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret

ARTIKEL - Sains sering dianggap sebagai indikator keberhasilan suatu bangsa karena sains bukan hanya soal penemuan di laboratorium, tetapi merupakan mesin penggerak fundamental bagi kemakmuran, kemandirian, dan masa depan suatu bangsa. Berkaca dari pernyataan tersebut, maka pembelajaran sains menjadi salah satu fondasi penting bagi kemajuan teknologi dan inovasi suatu bangsa. Jerman, Cina, dan Victoria (Australia) adalah tiga contoh sistem pendidikan yang dapat menjadi rujukan karena memiliki tradisi akademik yang kuat dan performa tinggi dalam asesmen internasional. Salah satu indikator global keberhasilan pembelajaran sains adalah skor PISA (Programme for International Student Assessment). Rendahnya skor PISA Indonesia menjadi tantangan besar bagi peningkatan kualitas pembelajaran sains. Belajar dari sistem pendidikan negara maju menjadi sebuah keharusan. Cina, Jerman, dan Australia khususnya negara bagian Victoria menawarkan tiga model kurikulum sains yang berbeda namun kaya akan praktik baik yang relevan untuk konteks Indonesia. Cina, Jerman, dan Victoria (Australia) merupakan tiga contoh negara dengan skor PISA yang lebih tinggi dari Indonesia. 

Meskipun Cina, Victoria (Australia), dan Jerman memiliki tiga model kurikulum sains yang berbeda, ketiganya memiliki beberapa persamaan mendasar dan karakteristik umum dalam mengembangkan kurikulum sains yaitu: IPA dianggap sebagai bagian penting dari kurikulum sekolah sehingga IPA pada ketiga negara dibuat sebagai bagian esensial dari sistem pendidikan secara umum, bukan hanya sebagai kelas pilihan; Fokus kurikulum IPA bukan hanya pada hafalan saja namun lebih menekankan pada pemahaman konsep sains dan proses ilmiah; Struktur materi IPA mencakup berbagai disiplin ilmu di berbagai jenjang yaitu Biologi, Fisika, Kimia, dan Ilmu Bumi; Orientasi pendidikan IPA melihat sains sebagai bagian dari pembentukan warga negara yang berpengetahuan (literasi sains) dan mampu berpikir kritis dalam memecahkan permasalahan global; serta Memberikan kemungkinan variasi penekanan dan fleksibilitas kurikulum sesuai jenjang/kebutuhan siswa/kebijakan lokal. Namun, persamaan ini berada pada tingkat “prinsip” yang implementasinya bisa berbeda-beda pada ketiga negara. 

Cina – Dari Konten Mendalam Menuju Inovasi Global

Ventilasi kelas mungkin terbuka lebar, namun udara yang dihirup oleh siswa-siswa di Shanghai terasa berbeda. Nuansa sains di Cina diwarnai oleh disiplin yang tinggi dan penguasaan konten yang sangat kokoh. Kurikulum sains di Negeri Tirai Bambu ini dibangun di atas fondasi yang terstruktur dan mendalam, sebuah warisan dari tradisi Confucianism yang menghargai ketekunan dan penguasaan pengetahuan. Kementerian Pendidikan Cina secara eksplisit menetapkan standar nasional yang sangat detail untuk setiap mata pelajaran sains. Sejak jenjang pendidikan menengah pertama, mata pelajaran seperti Fisika, Kimia, dan Biologi telah dipisahkan menjadi disiplin yang mandiri dan diajarkan dengan kedalaman yang luar biasa. Fokusnya adalah pada pembangunan pemahaman teoritis yang kuat, yang ditunjang oleh penyelesaian soal-soal kompleks dalam volume yang besar.

Semua proses pembelajaran ini digerakkan oleh sebuah mesin tunggal yang sangat berpengaruh: sistem ujian nasional, terutama Gaokao (Ujian Masuk Perguruan Tinggi). Gaokao bukan sekadar ujian, melainkan sebuah institusi sosial yang menentukan nasib dan masa depan siswa. Filosofi di baliknya adalah meritokrasi murni, dimana kerja keras dan penguasaan materi dijamin akan membuahkan hasil. Sistem ini memacu setiap siswa untuk menguasai materi sains dengan presisi dan ketelitian tingkat tinggi, menciptakan sebuah ekosistem kompetitif yang ketat. Hasilnya tidak dapat dipungkiri: lahirnya lulusan dengan fondasi pengetahuan sains yang sangat kokoh dan siap untuk menekuni bidang-bidang teknik serta riset teoritis yang menuntut ketekunan tinggi. Namun, di balik kekuatan itu, terselip tantangan besar. Ruang untuk kreativitas, metode inkuiri bebas, dan pembelajaran yang berbasis rasa ingin tahu murni seringkali terbatas oleh kerangka kurikulum dan tuntutan ujian yang sangat ketat. Inovasi, dalam banyak hal, tumbuh di dalam 'kotak' yang telah ditentukan dengan sangat jelas.

Cina dikenal dengan kurikulumnya yang content-heavy dan fokus pada penguasaan materi yang mendalam, yang secara historis menghasilkan skor tinggi dalam tes standar. Namun, Cina sedang menjalani reformasi besar untuk beralih dari penguasaan konten murni menuju pengembangan literasi ilmiah dan kompetensi.

Tujuan Strategis: Reformasi ini didorong oleh tujuan strategis untuk mencapai kemandirian dalam sains dan memupuk kreativitas ilmiah.

Tantangan Implementasi: Meskipun ada dorongan untuk pembelajaran berbasis inkuiri, implementasinya masih menghadapi tantangan, seringkali terhambat oleh budaya ujian yang ketat.

Praktik Baik untuk Indonesia: Pelajaran dari Cina adalah bahwa kedalaman konten tidak boleh dikorbankan, tetapi harus diimbangi dengan tujuan strategis yang jelas. Indonesia dapat mengadopsi semangat Cina dalam menanamkan pentingnya sains sebagai prioritas nasional untuk mencapai kemandirian teknologi. Selain itu, pengalaman Cina dalam menghadapi tantangan implementasi IBL di tengah tekanan ujian harus menjadi perhatian utama bagi Indonesia.

Victoria, Australia – Sains sebagai Alat Pemecah Masalah Kontekstual

Sementara itu, di seberang lautan, siswa-siswa di Victoria, Australia, memahami sains dengan cara yang lebih kontekstual dan terhubung langsung dengan kehidupan. Kurikulum Victoria, yang dikembangkan oleh Victorian Curriculum and Assessment Authority (VCAA), tidak menempatkan sains sebagai menara gading yang penuh dengan rumus abstrak, melainkan sebagai sebuah alat yang powerful untuk memecahkan masalah dunia nyata. Pendekatannya sangat menekankan pada relevansi dan membangun keterampilan berpikir ilmiah. Sebagai contoh, siswa tidak hanya diajar apa itu hukum Newton, tetapi didorong untuk mendiskusikan dan menyelidiki bagaimana hukum tersebut berlaku dalam desain sabuk pengaman, sistem transportasi, atau bahkan olahraga yang mereka gemari.

Kurikulum Sains Victoria (Victorian Curriculum F-10) menonjol karena pendekatannya yang terstruktur dan terintegrasi. Kurikulum ini secara eksplisit membagi pembelajaran sains menjadi tiga untaian (strands) yang saling terkait:

Science Understanding (Pemahaman Sains): Fokus pada penguasaan konsep inti (Biologi, Kimia, Fisika, Ilmu Bumi dan Antariksa).

Science Inquiry Skills (Keterampilan Inkuiri Sains): Fokus pada proses ilmiah (bertanya, merencanakan, melakukan, menganalisis, dan mengomunikasikan).

Science as a Human Endeavour (Sains sebagai Upaya Manusia): Untaian unik yang menghubungkan sains dengan konteks sosial, sejarah, dan etika.

Siswa diajak untuk mengajukan pertanyaan, merancang investigasi mereka sendiri, mengumpulkan dan menganalisis data, serta mengevaluasi kesimpulan mereka. VCAA dengan jelas mengarusutamakan kemampuan untuk "berkomunikasi dan merefleksikan" temuan ilmiah mereka. Penilaian pun tidak hanya bergantung pada ujian tertulis yang menuntut hafalan, tetapi juga pada penugasan praktik, presentasi, dan proyek penelitian skala kecil yang menilai kemampuan proses. Filosofi di balik pendekatan ini, seperti tercermin dalam dokumen kurikulumnya, adalah membekali siswa dengan literasi sains yang diperlukan untuk menjadi warga negara yang terinformasi dan kritis. Mereka diharapkan dapat menavigasi isu-isu kontemporer seperti perubahan iklim, kesehatan masyarakat, dan perkembangan teknologi dengan bijak, serta membuat keputusan yang berdasarkan pada bukti. Sains, dalam perspektif Victoria, adalah sebuah bahasa untuk memahami dan membentuk dunia, bukan sekadar kumpulan fakta untuk diingat.

Praktik Baik untuk Indonesia: Model Victoria mengajarkan pentingnya keseimbangan eksplisit antara konten dan keterampilan proses. Yang paling berharga adalah untaian Science as a Human Endeavour. Di Indonesia, sains seringkali terasa steril dan terpisah dari kehidupan nyata. Dengan mengintegrasikan aspek ini, siswa dapat melihat sains sebagai bagian dari budaya dan solusi masalah sosial, bukan sekadar hafalan rumus.

Jerman – Fokus pada Kompetensi dan Standar Nasional

Beranjak ke Eropa, Jerman menawarkan sebuah integrasi model yang unik: keunggulan teoritis dan aplikasi praktis yang nyata. Kurikulum sains di Jerman, yang dikembangkan oleh masing-masing negara bagian dengan koordinasi melalui Konferensi Menteri Pendidikan Federal, sering kali digambarkan sebagai pendekatan yang terintegrasi dan berbasis fenomena. Pembelajaran tidak langsung terjun ke dalam teori abstrak, namun sering dimulai dengan sebuah fenomena atau pertanyaan dari dunia nyata. 

Ciri khas lainnya yang sangat mencolok adalah penekanannya yang kuat pada pembelajaran melalui praktikum dan eksperimen. Standar pendidikan menekankan pentingnya metode ilmiah dan kerja eksperimental. Laboratorium sains bukanlah ruang mewah yang hanya digunakan sesekali, melainkan bengkel kerja utama di mana siswa menghabiskan banyak waktu untuk membuktikan teori dengan tangan mereka sendiri, mengasah keterampilan teknis, dan belajar dari kegagalan. Yang lebih membedakan lagi adalah sistem pendidikan menengah Jerman yang terstratifikasi, seperti adanya Gymnasium (jalur akademik) dan Realschule serta Hauptschule (jalur lebih praktis). Di sekolah-sekolah kejuruan (Berufsschulen), pendidikan sains dirancang sangat spesifik untuk mendukung karir di bidang teknik, manufaktur, dan industri, menciptakan tenaga kerja terampil yang menjadi tulang punggung ekonomi Jerman. Dengan demikian, kurikulum Jerman berhasil menjembatani kesenjangan antara ilmu murni dan penerapannya dalam industri, sehingga memastikan bahwa pengetahuan teoritis yang diajarkan di kelas memiliki relevansi langsung dengan lanskap ekonomi dan industri negara.

Sistem pendidikan Jerman yang terdesentralisasi memberikan otonomi kurikulum kepada 16 negara bagian. Namun, untuk memastikan kualitas yang merata, Konferensi Menteri Pendidikan (KMK) menetapkan Educational Standards (Bildungsstandards) nasional. Standar ini menjadi kunci:

Fokus Kompetensi: Kurikulum Jerman tidak hanya menekankan apa yang harus diketahui (konten), tetapi apa yang harus dapat dilakukan (kompetensi) siswa. Kompetensi sains dibagi menjadi empat area utama: Content Knowledge, Scientific Inquiry, Evaluation, and Communication.

Pedagogi Inkuiri: Jerman secara aktif mendorong Inquiry-Based Science Education (IBSE), di mana siswa belajar melalui penyelidikan dan eksperimen langsung, sejalan dengan fokus pada keterampilan inkuiri.

Praktik Baik untuk Indonesia: Pengalaman Jerman menunjukkan bahwa standar nasional berbasis kompetensi adalah solusi efektif untuk sistem pendidikan yang luas dan beragam seperti Indonesia. Meskipun Kurikulum Merdeka sudah mengarah ke sana, penekanan yang lebih tajam pada empat area kompetensi seperti di Jerman dapat menjadi panduan yang lebih jelas bagi guru di lapangan. Ini akan membantu menggeser fokus dari sekadar menyelesaikan materi menjadi mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah siswa.

Praktik Baik Kunci untuk Kurikulum IPA Indonesia

Ketiga model kurikulum sains ini, dengan segala keunikan dan filosofinya, memberikan pelajaran berharga yang sangat kontekstual dengan budaya, sejarah, dan aspirasi ekonomi masing-masing negara. Cina, dengan pendekatannya yang terpusat dan berorientasi pada penguasaan konten, mengajarkan kita tentang kedisiplinan, ketekunan, dan pentingnya membangun fondasi pengetahuan yang kokoh. Model ini sangat efektif untuk menghasilkan insinyur dan ilmuwan teoritis dalam skala besar dan dengan kecepatan yang mengesankan. Victoria, Australia, dengan pendekatan student-centered dan kontekstual, menunjukkan bahwa sains akan lebih hidup, bermakna, dan relevan ketika dikaitkan dengan konteks kehidupan dan melatih keterampilan berpikir kritis serta literasi. Model ini ideal untuk membentuk warga negara yang melek sains dan mampu beradaptasi dengan perubahan dunia. Sementara Jerman, dengan integrasi yang erat antara teori, praktik, dan kebutuhan industri, membuktikan bahwa keunggulan tidak harus datang dengan mengorbankan salah satunya. Model ini adalah resep yang tangguh untuk menciptakan sebuah ekosistem inovasi yang lengkap, mulai dari ilmuwan peraih Nobel hingga tenaga teknis terampil di lini produksi. Perbandingan ini menghasilkan tiga praktik baik utama yang dapat diadopsi Indonesia untuk meningkatkan kualitas pendidikan IPA

Pada akhirnya, tidak ada satu formula universal yang paling benar. Masa depan pendidikan sains, khususnya bagi Indonesia yang sedang gencar melakukan transformasi di bidang ini, mungkin terletak pada kemampuan untuk menyaring dan menggabungkan kekuatan dari setiap pendekatan. Sebuah ekosistem pendidikan sains yang ideal adalah yang tidak hanya mencetak penghafal teori yang handal, tetapi juga pemecah masalah yang kreatif, inovatif, dan mampu menerapkan pengetahuannya untuk menjawab tantangan lokal maupun global. Fondasi yang kokoh ala Cina, keterampilan berpikir kritis ala Victoria, dan integrasi dengan dunia nyata ala Jerman adalah tiga pilar yang jika disinergikan dengan bijak dapat melahirkan generasi emas yang siap memimpin dalam percaturan sains dan teknologi dunia.

Dengan memadukan kedalaman konten yang terstruktur, fokus pada kompetensi, dan penekanan pada konteks sosial, kurikulum IPA Indonesia dapat bertransformasi menjadi mesin pencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara ilmiah, tetapi juga berdaya saing global dan bertanggung jawab.

Referensi

Bilad, M.R., Zubaidah, S., Prayogi, S. (2024). Addressing the PISA 2022 Result: A Call for Reinvigorating Indonesia’s Education System. International Journal of Essential Competencies in Education. 3(1): 1-12.

Kementerian Pendidikan Republik Rakyat Cina (Ministry of Education of the People's Republic of China). http://www.moe.gov.cn 

Konferensi Menteri Pendidikan Federal Jerman (Kultusministerkonferenz - KMK). Website: https://www.kmk.org 

Otoritas Kurikulum dan Penilaian Victoria (Victorian Curriculum and Assessment Authority - VCAA). Website: https://www.vcaa.vic.edu.au