Lombok Timur - Radarselaparang.com || Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Institut Agama Islam Hamzanwadi (IAIH) Pancor hari ini resmi membuka International Conference on Social Humanities (ICSH) 2025 dengan tema tajam: “Resilience and Harmony: Navigating Social Change, Humanities and Da’wa.” pada Kamis (11/12).
FDK Institut Agama Islam Hamzanwadi (IAIH) Pancor hari ini resmi membuka International Conference on Social Humanities (ICSH) 2025
Konferensi ini menjadi panggung penting bagi akademisi lintas negara untuk merespons percepatan perubahan sosial yang, menurut Rektor IAIH Pancor, menuntut pola dakwah yang jauh lebih dalam.
Rektor IAIH Pancor, Dr. TGB. M. Zainul Majdi, MA., menegaskan bahwa dinamika sosial saat ini telah mengubah lanskap audiens dakwah secara fundamental.
“Sekarang audiens mempertanyakan banyak hal yang dulu dianggap aksioma atau postulat. Pertanyaan jamaah pun bergeser dari isu domestik ke isu global,” ujar Rektor, membandingkan kondisi saat ini dengan masa ia kembali dari Kairo pada tahun 1997.
Menurutnya, pergeseran pola pikir ini menuntut para pendakwah, akademisi, dan pemimpin publik untuk tidak lagi menggunakan pendekatan lama.
“Masyarakat kini menuntut argumentasi, data, dan kedalaman pandangan,” tegasnya.
Daeng Sani Ferdiansyah, M. Sos., Ketua Panitia ICSH 2025, menjelaskan bahwa konferensi ini digagas sebagai upaya kampus untuk hadir memberikan arah dan solusi atas isu-isu sosial yang berkembang.
“Konferensi ini bukan sekadar forum ilmiah, tetapi ruang kolaborasi untuk membaca ulang kondisi sosial kita. Melalui pertukaran gagasan, riset, dan dialog lintas negara, kita berharap dapat merumuskan perspektif baru yang relevan bagi masyarakat,” papar Daeng.
Ia juga menambahkan bahwa ICSH 2025 dirancang sebagai tradisi akademik yang tidak hanya memotret masalah, tetapi juga menawarkan arah perbaikan dan penguatan ketahanan sosial.Isu teknologi menjadi sorotan utama dalam konferensi ini. Dr. Juzlinda Moh Ghazali, Dekan FMKK Universitas Islam Selangor, Malaysia, menyoroti tantangan literasi digital dan etika kecerdasan buatan (AI).
Ia mengingatkan, dengan 60 persen populasi Muslim berusia di bawah 30 tahun, adaptasi teknologi berjalan super cepat, namun berisiko mengikis kebijaksanaan.
“Masyarakat mengonsumsi lebih banyak informasi, tetapi menyerap lebih sedikit kebijaksanaan. Kita semakin terhubung secara digital namun semakin terputus secara emosional,” kata Dr. Juzlinda.
Oleh karena itu, ia menekankan perlunya kerangka etika AI dan literasi digital untuk mengurangi risiko misinformasi, manipulasi, dan kecanduan digital di kalangan generasi muda.
Konferensi yang berlangsung dinamis dengan tingginya partisipasi ini diharapkan menjadi kontribusi nyata FDK IAIH Pancor dalam memperkuat ketahanan sosial dan harmonisasi nilai kemanusiaan di tengah pusaran perubahan global.
“Kita tidak boleh hanya menjadi pengguna, tetapi harus menjadi pembentuk dan penjaga etis AI,” tutupnya.


