Daftar Isi [Tampil]

Pengadilan Negeri Selong saat eksekusi lahan seluas 49.300 m² (hampir 5 hektar) di Desa Seruni Mumbul, Kecamatan Pringgabaya.
LOMBOK TIMUR - Radarselaparang.com || Rencana eksekusi lahan seluas 49.300 m² (hampir 5 hektar) di Desa Seruni Mumbul, Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, memicu penolakan keras dan kemarahan warga. LSM Garda mendampingi warga, menuding putusan pengadilan yang menjadi dasar eksekusi penuh rekayasa, tidak berpihak pada rakyat kecil, dan diduga kuat "masuk angin."

Penolakan ini mencuat setelah Pengadilan Negeri Selong menerbitkan surat pemberitahuan pelaksanaan konstatering (pencocokan) terkait sengketa perdata antara I Wayan Budhi Yasa dkk. melawan Parit Abu Bakar dkk., tertanggal 23 September 2025.

Warga Seruni Mumbul menegaskan bahwa lahan tersebut bukan sekadar aset, melainkan sumber kehidupan yang diwariskan turun-temurun.

“Kami sudah tinggal di tanah ini sejak nenek moyang kami. Kalau tanah ini dirampas, sama saja merampas masa depan anak-anak kami. Kami tidak akan tinggal diam,” ujar salah seorang warga dengan nada geram.

Warga merasa dikhianati oleh lembaga peradilan, yang seharusnya menjadi pelindung. "Hukum seharusnya melindungi, bukan menjadi alat bagi yang kuat untuk menindas. Kami kecewa dengan putusan yang penuh kejanggalan ini," ungkap warga lainnya.

Direktur LSM Garuda, M. Zaini, yang berada di garis depan pendampingan, menilai surat eksekusi PN Selong adalah bentuk nyata perampasan tanah rakyat berkedok hukum. Zaini secara terbuka menduga adanya permainan di balik putusan tersebut.

“Sejak awal, proses peradilan di semua tingkat sarat kejanggalan. Putusan yang lahir jelas tidak berpihak pada rakyat kecil. Ini ancaman serius terhadap hak hidup yang dijamin konstitusi dan kami menduga putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan masuk angin,” tegas M. Zaini, pada Selasa (30/9).

Menurut Zaini, kejanggalan paling kentara adalah pengabaian terhadap bukti otentik seperti sertifikat hak milik yang dimiliki warga, padahal sertifikat adalah alat bukti kepemilikan terkuat sesuai Pasal 19 UUPA. Selain itu, putusan dinilai mengabaikan asas peradilan yang adil dan gagal menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat.

M. Zaini menegaskan bahwa LSM Garuda menolak tegas eksekusi ini karena dikhawatirkan akan memicu risiko konflik sosial dan pelanggaran HAM. Ia bahkan menyoroti dugaan praktik suap atau gratifikasi yang memengaruhi putusan, yang kerap kali memenangkan korporasi atau kelompok kuat, sementara rakyat kecil dikalahkan.

“Kami LSM Garuda menolak tegas adanya eksekusi ini. Dan akan bersurat ke pada Mahkamah Agung di Jakarta untuk turun mengusut adanya dugaan permainan dari hakim-hakim yang ada di Lombok Timur maupun yang di Mataram,” ungkapnya.

LSM Garuda mendesak MA untuk menindak tegas hakim yang terbukti melanggar hukum, membuka akses publik terhadap proses pengawasan, dan menguatkan kerja sama dengan Komisi Yudisial (KY).

Jika putusan menyimpang ini tetap dijalankan, konsekuensinya dinilai sangat serius: masyarakat kehilangan kepercayaan pada sertifikat tanah, kesenjangan sosial melebar, dan legitimasi lembaga peradilan akan terkikis karena dianggap berpihak pada pemodal besar.

Saat ini, warga Seruni Mumbul bersama LSM Garuda menyatakan akan terus melakukan perlawanan damai dan mendesak pemerintah serta lembaga peradilan untuk meninjau ulang putusan demi tegaknya keadilan. (RS)